Pada hari-hari biasa, Kang Manthuk (bukan nama sebenarnya), perajin gerabah warga dusun Samiran, mengakhiri pekerjaannya di saat menjelang Azar.
Namun karena mendapat pesanan cukup banyak, dia terpaksa kerja lembur. Jam lima sore dia masih asyik sendirian membuat gerabah ukuran kecil berwujud wajah perempuan.
Gerabah itu pesanan pelanggannya yang katanya akan dipakai untuk souvenir pesta pernikahan puterinya.
Tiba-tiba kuping Kang Manthuk mendengar suara jibar-jibur orang mandi di belik. Memang, tidak jauh dari rumah Kang Manthuk ada sebuah belik yang berair amat jernih. Dimanfaatkan warga sekitar untuk keperluan mandi dan mencuci.
Kang Manthuk ingin tahu siapa gerangan yang mandi sambil mendendangkan lagu “Caping Gunung” itu. Suaranya teramat merdu, enak didengarkan.
“Kalau warga sini kayaknya tidak ada yang mempunyai suara emas seperti itu,” ujar Kang Manthuk dalam hati.
Pekerjaan yang belum rampung dia tinggalkan. Tidak bermaksud untuk mengintip, diam-diam Kang Manthuk mengendap-endap di antara tumbukan belukar, mendekati belik.
Dari jarak yang tidak begitu jauh, perajin grabah itu melihat dengan jelas ada seorang perempuan sedang mandi dengan cara alami alias setengah telanjang.
Kulit tubuhnya bagian belakang tampak bersih dan kuning langsat. Dengan santai mengguyur tubuh mulusnya sambil terus menyanyi.
Kang Manthuk terbuai. Bukan saja karena melihat pemandangan yang sangat aduhai, namun juga karena kesengsem mendengar suara perempuan itu yang sangat enak didengar.
Hal tersebut menjadikan dia kurang waspada. Ketika dia kepengin lebih mendekat lagi, tidak disadari ada lubang di depannya. Krosaaak…! Kakinya masuk lubang menginjak ranting dan daun-daun kering.
Sontak, sosok perempuan yang sedang mandi telanjang itu kaget. Mukanya menoleh ke arah Kang Manthuk.
Kang Manthuk yang kejeglong di lubang sedalam perut kaget setengah mati. Perempuan yang kulit punggungnya bersih, kuning langsat itu, ternyata wajahnya sangat menyeramkan.
Penuh bentol-bentol dan berdarah-darah. Terlihat sangat marah memandang Kang Manthuk yang dikira mengintip dia mandi.
Tidak merasa apa-apa, tahu-tahu Kang Manthuk merasakan badannya sebatas perut ke bawah tertimbun tanah lempung, bahan pembuat gerabah. (Seperti dikisahkan FX Subroto di Koran Merapi) *