Tiyok, Koko, dan sebagian besar warga desa, sudah kenal siapa Sukoro atau lebih kondang dengan panggilan Ulo Koros. Dia adalah lelaki jomblo usia empat puluh tahun, asli warga desa Duwetrobyong.
Sukoro orangnya angin-anginan. Orang menyebutnya, lelaki tersebut kurang ‘sak-setrip’ atau ‘kurang sak ons’. Tidak gila, namun juga kurang waras. Meski begitu dia gampang diminta tolong.
Selalu bersedia jika dimintai tolong siapa pun. Asal ada sembulihnya, seberapa pun.
Orang yang dekat dengannya sangat mahfum akan ‘ciri wanci’ Sukoro. Dia itu…suka kentut. Ketika tidur pulas, tidak putus- putusnya gas dari dalam perutnya akan keluar tanpa dia sadari. Karena pola makan yang ngawur, apa-apa masuk ke perutnya, tak ayal, bau kentutnya terlalu amat sangat menusuk hidung.
Tidak membuang waktu Tiyok pun bersegera pulang kampung. Akan menjemput Sukoro.
Diminta untuk tidur di kamar kosnya barang semalam atau dua malam. Dijanjikan akan diberi imbalan yang layak, lelaki jomblo ‘kurang sak ons’ itu pun langsung sanggup. “Satu minggu pun aku mau, Yok,” begitu ujarnya sembari tertawa ngakak.
Malam itu Tiyok numpang tidur di kamar Koko. Sukoro alias Ulo Koros tidur sendirian di kamar kos Tiyok. Belum jam sepuluh Sukoro sudah terkantuk-kantuk. Akhirnya tertidur pulas.
Seperti biasa, dalam tidurnya terdengar suara kentut berulang-ulang.
Diikuti aroma yang teramat sangat busuk. Bau teramat sangat menusuk hidung itu meruar, memenuhi ruang kamar kos Tiyok.
Tengah malam, tubuh Ulo Koros seperti ada yang membangunkan. Tahu- tahu…plok! Pipi Sukoro seperti ditampar tangan kekar.
Berbarengan dengan itu terdengar suara seperti orang marah.
“Weee…lhadalah! Bau kentutmu seperti bangkai buaya! Huh, aku tidak tahan. Aku akan hengkang dari sini”.
Esok paginya Sukoro menceriterakan hal itu kepada Tiyok. Tiyok gembira. Tugas Ulo Koros berjalan dengan sukses. Dan sejak itu di kamar kos Tiyok tidak lagi terdengar suara orang mengorok di dalam tembok. – Semua nama samaran. (Seperti dikisahkan FX Subroto di Koran Merapi)