Bersama lima temannya sesama penghobi mendaki gunung, Arga (bukan nama sebenarnya) berencana akan merayakan pergantian tahun di puncak Gunung Merapi.
Mendengar rencana itu Adis (nama samaran), adik Arga bocah yang masih berusia sepuluh tahun merengek ingin ikut. Tentu saja tidak diperkenankan. Kedua orangtuanya pun juga melarang.
Siang menjelang pergantian tahun, Arga berlima berangkat ke Ketep, Boyolali. Pada tengah malam mereka memulai pendakian lewat jalur tersebut.
Di puncak Gunung Merapi, pagi menjelang subuh mereka duduk-duduk menghadap ke timur, menanti terbitnya sang surya. Suasana remang- remang pelahan berubah menjadi terang.
Bersamaan dengan itu rasa kaget yang tiada tara menyergap diri Arga. Dari jarak limapuluh meter dia melihat sosok bocah laki-laki seorang diri duduk di sebuah batu.
Nampaknya seperti menunggu seseorang. Arga seperti tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Setelah diamati dengan seksama, tidak keliru, bocah laki-laki itu…, ternyata Adis! Adiknya.
“Hah… dengan siapa kamu ke sini? Lewat mana? Apa tidak lelah?” Dan sederet pertanyaan yang dilontarkan Arga kepada adiknya. Rasa heran, marah, kagum dan anyel bercampur menjadi satu.
Mendapat berondongan pertanyaan bernada marah dari kakaknya, Adis hanya diam membisu. Baru setelah dibujuk pelan-pelan, “pendaki cilik” tersebut mau membuka mulut. Dan menceriterakan apa yang dialaminya.
Sore kemarin ketika sedang bermain sepeda, Adis didatangi seorang lelaki sepuh. “Eyang tahu yang kamu mau. Kamu ngebet ingin naik gunung kan? Jangan bersedih, ayo jalan sama Eyang.” Adis menirukan ucapan lelaki sepuh tersebut.
Adis gembira bukan main. Tangan Adis digandeng erat dan keduanya berjalan ke arah utara. Jalan yang semula datar berubah menjadi penuh tanjakan. Namun begitu Adis tidak merasa kelelahan, begitu juga lelaki sepuh itu.
“Aku nggak ngerti, Mas. Tahu-tahu sudah sampai sini. Dan aku juga tidak tahu, Eyang yang mengajakku, entah pergi kemana,” begitulah Adis menceriterakan kejadian yang dialaminya.
Arga dan teman-temannya ndomblong, tidak habis pikir. Adis yang masih cemlolo itu bisa sampai di puncak Gunung Merapi tanpa nampak lelah. Namun… ketika turun, tak urung Arga harus bergantian dengan teman-temannya menggendong Adis. Pasalnya, “pendaki kecil” itu bola-bali sambat capek. (Seperti dikisahkan Andreas Seta RD di Koran Merapi) *