Kisah pengalaman misteri menurut cerita Mbah Somo yang mendapat pulung emas.
Semua itu lantaran ia rajin laku prihatin setiap malam Jumat Kliwon.
Mbah Somo warga desa Banglor mempunyai kebiasaan yang nyleneh.
Bagi Brojol ini termasuk eyang buyutnya.
Ayah Brojol termasuk cucu yang dicintai dan dibelikan sawah satu patok seluas 2000-an meter pesegi.
Sehingga Eyang itu jadi teladan bagi ayahnya, terutama saat memberikan pelajaran hidup.
Acuan dan bercermin pada leluhurnya: “Tirulah Mbah-Mbahmu, Nak!”
Biasanya ketika zaman masih rekoso, cari makan benar-benar sulit.
Orang kala itu bekerja hanya untuk cari sepiring nasi.
Hal itu gambaran di desa ini, sehingga menjadikan hidup harus prihatin termasuk dengan makan seadanya.
Bagi keluarga Mbah Somo keadaan ini malah memacu untuk giat olah batin.
Setiap malam Jumat Kliwon ia mengelilingi desa sampai 3 kali dalam semalam.
Laku dengan mubeng desanya sejauh 2 km bahkan lebih dalam tiap satu putarannya.
Kala itu memang belum ada penerangan listrik, hanya lampu minyak sebagai penerangan.
Sehingga bila terlihat hanya lamat-lamat dan temaram saja.
Begitu pula lakunya pun setelah lingsir wengi atau di atas pukul 12 malam.
Kadang ada tetangganya yang dari jagong bayen melihat saat mubeng desa.
Ada yang takut ketika berpapasan, bahkan ada yang menyangka makhluk halus.
Hal ini sebagai bentuk laku prihatin. Lakunya itu hingga membuahkan dhawuh gaib.
Yang memerintahkan untuk mengambil emas di sudut desa.
Suara gaib itu kian jelas untuk segera mengambilnya. Namun Mbah Somo ragu dan kawatir.
Ia takut anak cucunya akan cures atau habis mati semuanya.
Hingga akhirnya banyak kabar tersiar soal ini. Sehingga ia disebut Somo Mas lantaran mendapat pulung emas.
Uniknya anak cucunya tetap bertahan hingga kini dan hidup dengan bahagia.
Keanehan di akhir hayat ketika eyang itu usianya 100 tahun lebih, ternyata giginya masih utuh.
Kakek memberikan rahasianya dengan laku sabar narimo dan saat makan sejak muda tak pernah panas alias setelah dingin dan gemar puasa dengan bersandar di pohon pisang.
Bagi era kini sudah tak dijumpai lagi dan menjadi pengalaman bagi anak cucunya saja. – Semua nama samaran -(Seperti dikisahkan WA Sutanto di Koran Merapi) *