Menemukan Cahaya Misterius Saat Menjalankan Ritual di Pantai Parangkusumo

Cerita horor Kisah nyata ini terjadi tahun 2010 silam, saat kami baru sampai di Pantai Parangkusumo jam 5 sore.

Kami putuskan untuk beristirahat sejenak di warung angkringan, sambil menikmati secangkir kopi panas.

Sambil menunggu malam tiba, kami cerita ngalor-ngidul tak tak tentu rimba dengan pembeli lain. Saya coba tanya tentang mitos Parangkusumo.

“Gimana Wan capek nggak?” Tanyaku.
“Ya lumayan Dit,” jawab temanku sambil mengepulkan asap rokok.

“Hidup memang aneh, sebentar enak eh saat susah lamanya minta ampun Wan,” kataku.
“Ya mau gimana lagi. Yang penting kita usaha,” seloroh Wawan.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Bergegas kami membayar kopi dan makanan yang kami pesan tadi.

Berjalan menuju pantai suasana malam ini terasa sangat gelap dan suara gemuruh ombak juga kencang.

Kami berhenti sejenak sebelum ke pantai, aku berdoa dalam hati semoga tidak terjadi apa-apa.

Setelah sampai bibir pantai, sesekali ombak menyambut sampai ke kaki. Kami diam seribu bahasa karena kami punya misi yang berbeda.

Bau harum dupa semakin menyengat malam ini karena banyak yang melakukan ritual. Tetap sambil berdiri aku pandang langit yang gelap dan terus berdoa dalam kepasrahan pada Tuhan.

Aku meminta keadilan pada Tuhan atas diriku. Kupejamkan mataku. Ombak semakin ganas tapi kami tidak bergeser sedikitpun.

Seperti ada yang memerintahkan untuk membuka mata aku melihat cahaya putih di tengah laut dan meluncur ke arah kami. Aku tahan napas dan terus berdoa. Cahaya itu tepat jatuh di depanku.

Karena penasaran aku coba ambil dan anehnya, cahaya itu tidak berbentuk padat tapi bisa dipegang. Cahaya itu tak lebih besar dari biji kedelai namun bersinar terang.

“Apa itu?” tanya temanku.
“Entahlah,” jawabku
“Kamu mau Wan?”
“Tidak. Aku tidak cari begituan,” cerocos Wawan.
“Baguslah,” kataku.

Aku kembalikan cahaya itu pada posisi semula tepat dimana dia jatuh. Tak lama ombak datang dan membawa cahaya itu pergi.

Setelah sesaat terpaku kami memutuskan berhenti dalam ritual kami. Kami berjalan ke tempat sore tadi dan tak lupa pesan kopi panas.

Tak terasa sudah jam 3 pagi dan kami putuskan untuk kembali ke Cirebon. Dalam perjalanan aku terus berfikir, cahaya apakah itu? Ah entahlah, dalam hatiku berontak. (Seperti dikisahklan Happy Children di Koran Merapi)

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *